Mantan Direktur Polinema Malang Korupsi Pengadaan Tanah Kampus Sudah Menjadi Tersangka

Penahanan tersangka di kasus pengadaan tanah kampus oleh mantan Direktur Polinema Malang (Foto: Dok Humas kejati jatim)
Penahanan tersangka di kasus pengadaan tanah kampus oleh mantan Direktur Polinema Malang (Foto: Dok Humas kejati jatim)

okejatim.com - Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jatim Windhu Sugiarto menyatakan, menetapkan AS Mantan Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017–2021 sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah.

selain AS, penyidik juga menetapkan satu tersangka lain inisial HS.

Ditetapkannya para tersangka itu berdasarkan dua surat perintah penyidikan Print-99/M.5/Fd.2/01/2025 dan Print-848/M.5/Fd.2/06/2025, yang terbit pada 3 Januari 2025 dan 11 Juni 2025.

 Windhu menjelaskan, Pengadaan tanah itu, AS melakukan perluasan lahan kampus Polinema Malang yang dilakukan mulai tahun 2019 dengan tersangka HS selaku pihak penjual tanah.

“Menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Polinema pada tahun anggaran 2019 hingga 2020,” terang Windhu, Rabu (11/6/2025).

 Selain itu dalam proses pengadaan tanah, AS dan HS diduga melakukan pelanggaran prosedur dan administrasi, seperti
tidak melibatkan panitia resmi.

 AS diduga menentukan harga secara sepihak tanpa penilaian jasa appraisal," ujar Windhu.

“Pengadaan tanah tanpa melibatkan panitia resmi yang dibentuk. Penentuan harga tanah tidak berdasarkan penilaian jasa appraisal, melainkan berdasarkan penilaian pribadi AS dan tersangka tanpa melibatkan panitia resmi yang dibentuk juga,” jelas Windhu.

Dalam kasus tersebut, lahan seluas 7.104 meter persegi kemudian disepakati dengan nilai Rp6 juta per meter persegi dengan total nilai pembelian mencapai Rp42,624 miliar.

Windhu menyebut, proses negosiasi dan pembayaran dilakukan saat dua dari tiga bidang tanah belum bersertifikat, serta tanpa surat kuasa dari seluruh pemilik lahan.

Kemudian, proses pembayaran uang muka diduga dilakukan dengan melanggar prosedur. Mulai dokumen yang dibuat secara backdate atau tanggal mundur, tanpa notulen rapat bahkan akta jual beli.

“Dari total harga pembelian, uang muka sebanyak Rp3,87 miliar dibayarkan pada 30 Desember 2020 menggunakan dokumen yang dibuat secara backdate, termasuk surat keputusan panitia, notulen rapat, hingga akta jual beli,” ucap Windhu.

Meski begitu, AS terus melakukan pembayaran uang tanah tersebut hingga mencapai Rp22,6 miliar. Namun, pembayaran itu berlangsung tanpa disertai proses akuisisi aset atau pencatatan hak atas tanah oleh Polinema.

 Windhu juga menyebut sebagian besar lahan yang dibeli merupakan zona ruang manfaat jalan dan badan air serta berbatasan langsung dengan sempadan sungai. Hal itu tidak sesuai untuk pembangunan gedung kampus.

Lalu, sebagian dana yang sudah dibayarkan Polinema senilai Rp4,3 miliar dan Rp3,1 miliar, dititipkan kepada notaris dan internal Polinema untuk membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) penjual dan pembeli.

Padahal, menurut ketentuan perundang-undangan, pengadaan tanah untuk kepentingan umum seharusnya tidak dikenakan BPHTB.

“Perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian sebanyak Rp22,624 miliar,” ungkapnya.

Dalam kasus itu, AS dan HS telah ditahan Kejati Jatim. Keduanya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU yang sama jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Editor : Hendro